Oleh : J Eben G B Domaking (Praktisi Pers & Pengamat Sosial)
Kota Kupang, Awal November kembali mengingatkan kita pada satu kenyataan yang tidak bisa dihindari: musim penghujan datang dengan intensitas yang semakin sulit diprediksi.
Kota Kupang dalam beberapa hari terakhir kembali diguyur hujan lebat disertai angin kencang hampir setiap hari.
Kondisi ini bukan hanya mengganggu aktivitas masyarakat, tetapi juga memperbesar potensi bencana, mulai dari banjir hingga tanah longsor di berbagai titik.
Ironisnya, beberapa kawasan yang sebelumnya tidak pernah menjadi langganan banjir kini ikut terdampak, menandakan adanya perubahan kondisi lingkungan dan kerentanan baru yang muncul.
Dalam konteks inilah, mitigasi bencana seharusnya tidak lagi dipandang sebagai pilihan, tetapi menjadi kebutuhan mendesak.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 sudah menegaskan bahwa mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana melalui pembangunan fisik, edukasi, dan peningkatan kapasitas masyarakat.
Sayangnya, konsep ini masih sering dipahami sebatas respons setelah bencana, bukan persiapan sebelum bencana tiba.
Kesiapan Warga: Dari Rumah Sendiri hingga Lingkungan
Masyarakat yang tinggal di wilayah rawan banjir seharusnya menjadi kelompok paling sadar terhadap risiko.
Daerah yang memiliki riwayat banjir besar hampir bisa dipastikan akan mengalaminya kembali jika tidak ada perubahan pola lingkungan.
Karena itu, adaptasi warga terhadap kondisi rumah, penyimpanan barang, dan penataan ruang menjadi bagian penting dari peminimalisir kerugian.
Tindakan sederhana seperti perantingan pohon, pengerukan drainase, pembersihan sungai, hingga memastikan jalur air tidak tersumbat, merupakan langkah kecil yang berdampak besar.
Ketika aliran air terjaga, banjir dapat lebih cepat surut meski hujan turun cukup intens.
Peran Akademisi: Dari Pemetaan Risiko hingga Peringatan Dini
Kalangan akademisi sebenarnya memiliki ruang besar untuk berkontribusi dalam mengurangi risiko bencana.
Penelitian mengenai gejala alam, faktor penyebab, serta pemetaan kawasan rawan bencana menjadi komponen penting dalam menciptakan sistem peringatan dini yang efektif.
Dalam banyak kasus, bencana bukan hanya terjadi karena alam, tetapi karena minimnya informasi dan ketidaksiapan masyarakat.
Jika hasil kajian akademik dapat disalurkan dengan tepat, masyarakat bisa mengambil langkah-langkah preventif jauh sebelum bencana tiba.
Pemerintah: Antara Pembangunan dan Tanggung Jawab Lingkungan
Pemerintah Kota Kupang memiliki tanggung jawab besar dalam hal pencegahan bencana, terutama terkait banjir.
Kelayakan infrastruktur drainase adalah fondasi utama, namun kebijakan tata ruang juga tak kalah penting. Sayangnya, semangat pembangunan ekonomi sering kali membuat aspek lingkungan terpinggirkan.
Pembangunan pusat perbelanjaan, reklame raksasa, hingga kawasan komersial baru dapat menjadi ancaman jika tidak dikaji secara matang dampaknya terhadap lingkungan sekitar.
Musim hujan dengan angin kencang seharusnya menjadi pengingat bahwa satu bangunan yang tidak layak atau papan reklame yang berdiri tanpa standar keamanan dapat menciptakan bahaya baru bagi masyarakat.
Kebijakan pengawasan dan kelayakan bangunan semestinya menjadi garis pertahanan pertama pemerintah dalam melindungi warganya.
Tidak Ada Manfaat dari Saling Menyalahkan
Ketika bencana terjadi, ada kecenderungan untuk mencari pihak yang dapat dipersalahkan. Namun, sikap ini tidak membawa kita ke mana pun.
Bencana adalah tanggung jawab bersama—warga, akademisi, pemerintah, dan semua elemen masyarakat.
Menunjuk korban sebagai pihak yang salah justru memperburuk situasi dan menjauhkan kita dari solusi.
Yang kita butuhkan adalah kedewasaan kolektif dalam memahami risiko, memperkuat mitigasi, serta berkolaborasi untuk mengurangi dampak bencana.
Musim hujan telah tiba, dan kesiapsiagaan adalah satu-satunya cara kita memastikan bahwa setiap tetes hujan tidak berubah menjadi ancaman. *****


.png)